Makassar, 8 April 2006
Catatan Harian
PLAYBOY. Kurang lebih 60 menit, saya menelusuri Jl Pettarani, Sultan Alauddin, dan Latimojong mencari Majalah Playboy. Majalah, yang beberapa bulan terakhir, menuai kontroversi dari banyak kalangan.Kontroversi karena dianggap hanya mengumbar nafsu dan birahi.
Uang Rp 50.000 telah kusiapkan. Kemarin, di salah satu harian Kota Makassar, Tribun Trimur, disebutkan harganya Rp 39.000. Saya pikir, harga di Makassar pasti lebih tinggi dari harga sebenarnya.
Pro-kontra seputar Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) belakangan ini, membuat majalah ini dicari sebagian orang dan dikutuk oleh yang lain.
Rasa penasaran terus menggelayut di benakku. Sampul warna merah muda dengan senyum Andhara Early terus membayang dalam pikiranku.
Rasa penasaran, yang mungkin disebabkan oleh publikasi media yang berlebihan terhadap majalah ini, terus menghantui. Hanya bisa terobati ketika majalah tersebut ada di depanku.
Untuk menghilangkan sebagian rasa penasaran, internet menjadi salah satu pilihanku.
Dari internet, saya ketahui majalah ini diterbitkan PT Velvet Silver, Jakarta. Media sekaligus pemegang lisensi Playboy di Indonesia.
Menurut Direktur Velvet Silver yang merangkap editor in chief majalah Playboy, Erwin Arnada, investasi awalnya sekitar Rp 3 4 milyar yang digunakan untuk infrastruktur dan pembelian lisensi (Tempo Interaktif).
Wow !!!, angka yang fantastik menurut ukuranku. Hanya untuk membeli sebuah surat izin. "Direktur ini pasti memiliki kalkulasi tingkat tinggi," pikirku. Betapa tidak, rencana penerbitannya saja telah menuai kontroversi. Apalagi saat peluncurannya.
Benar saja, hari ini, Sabtu (8/4), beberapa kelompok masyarakat menyatakan menolak keberadaan majalah tersebut. Bahkan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, menegaskan pihaknya akan menindak tegas para penjual majalah Playboy.
Ironi memang. Sementara di satu sisi, hasrat kuat membaca majalah terus muncul. Bukan untuk melihat gambar pornonya tapi menyimak isi dan kualitas pemberitaannya.
Selama ini, kita sering menilai sesuatu dari satu perspektif dan mengabaikan yang lainnya.
Tiba-tiba saya teringat kasus Irak. Irak diserang Amerika dan sekutunya hanya karena presidennya dianggap diktator dan tidak demokratis. Akibatnya, seluruh rakyat Irak sampai sekarang masih menderita karena ulah Amerika tersebut.
Hal yang sama juga mengancam Iran. Dituduh mengembangkan senjata nuklir, Dewan Keamanan PBB berencana memborbardir Iran.
Saya juga khawatir nasib majalah Playboy seperti itu. Hanya karena stigma negatif tentang Playboy, menjadi pembenaran sebagian kelompok untuk menghancurkan seluruh asetnya. Imbasnya, semua majalah yang dianggap menjual sensualitas akan dilabrak.
Padahal ukuran sensualitas sangatlah subjektif. Anda menganggap ini porno, sementara saya tidak. Demikian kira-kira gambaran subjektivitas. Tergantung dari perspektif mana kita menilainya.
Meski demikian, sampai detik ini, hasrat untuk memegang majalah tersebut belum hilang. Bukan untuk melihat gambar porno, tapi mengambil hikmah di dalamnya.Wassalam.
No comments:
Post a Comment