Makassar, 2 Mei 2006
Catatan Harian
MUNGKINKAH kearifan lokal menjadi pedoman hidup masyarakat modern? Pertanyaan ini muncul di benakku ketika menghadiri sebuah festival kebudayaan di Galesong, Takalar. Festival yang mengangkat tradisi masyarakat nelayan yang terisolir dari pusat kebudayaan. Nelayan selama ini dalam stereotipe masyarakat kota diidentikkan dengan sifat kasar dan pendiam.
Salah satu kearifan nilai yang hidup dan diamalkan dalam tradisi masyarakat nelayan adalah nilai kebersamaan. Bersama meracik perahu hingga mengarak ke tepi laut. Satu nilai yang sepertinya menghilang dalam kultur masyarakat kota yang cenderung individualis. Tradisi Patorani_ berasal dari istilah to warani (orang yang berani)_ pesisir pantai Boddia, Galesong Selatang, Kabupaten Takalar, menjelang turun ke laut menggambarkan nilai kegotong-royonan masyarakat maritim.
***
Kearifan budaya adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berkeadaban. Hidup damai. Hidup rukun. Hidup bermoral. Hidup saling asih, asah, dan asuh. Hidup dalam keragaman. Hidup penuh maaf dan pengertian. Hidup harmoni dengan lingkungan. Hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan. Hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat sendiri. Itulah bagian terdalam dari kearifan kultur lokal (Nasir, 2003).
Dalam perspektif historis, kita sebagai bangsa telah mengalami berbagai dan berulang kali proses akulturasi, yakni tatkala kita bersemuka dengan kebudayaan-kebudayaan besar dari luar Indonesia, dengan "yang lain", di antaranya: India dengan agama Hindu dan Budhanya, kebudayaan Timur Tengah yang menyertai agama Islam, dan kebudayaan Eropa berikut konsep modernisasinya yang dibawa oleh kolonial.
Proses akulturasi ini berjalan simultan dan saling mengisi. Budaya komplementer _dalam bahasa Gus Dur_ membuat peradaban Indonesia semakin hidup dan beragam. Apresiasi budaya "the other" terhadap tradisi lokal nusantara menjadi bukti perselingkuhan unsur lokal dan tradisi baru ini. "The other" yang tidak menghargai dinamika kearifan lokal akan tersingkir dan diacuhkan.
***
Karampuang (Sinjai), Towani/Tolotang (Sidrap), Kajang (Bulukumba), bissu (Pangkep),serta Cikoang dan Patorani (Takalar) adalah segelintir tradisi lokal dalam lingkup Sulsel dengan muatan kearifan yang patut disebut. Para pengikut tradisi ini sering mendapat stigma miring dari pihak luar. Bahkan perlakuan diskriminatif dari birokrasi adalah hal biasa bagi mereka. Tolotang misalnya, mereka tidak diakui sebagai komunitas Islam meski ritual keagamaannya untuk Allah dan mengakui Muhammad sebagai pesuruh Allah. Untuk mentaktisi aturan lima agama resmi, mereka dipaksa mengaku sebagai Hindu dalam KTP-nya.
Masyarakat lokal, atau saya sering menyebutnya agama lokal, menempuh berbagai cara untuk tetap eksis di tengah masyarakat. Sisa-sisa komunitas bissu (pembesar dan penasehat kerajaan zaman dulu) yang setengah laki-laki dan perempuan mulai menggeliat. Keberanian Puang Matoa, gelar kehormatan bissu, Bissu Saidi beberapa kali menghiasi layar TV mengungkap tentang jejak-jejak komunitas ini menapak jurang terjal agama resmi, Islam.
Di tengah gempuran modernisasi dan pola pikir rasional, komunitas adat ini tetap bertahan dengan kearifan lokal mereka. Bagi mereka, setiap wilayah memiliki norma dan tradisi sendiri. Kebenaran tidak bisa didominasi oleh satu titik. Apakah itu agama resmi, birokrasi, atau apapun yang mengklaim diri sebagai pemegang dominasi. Kita semestinya perlu belajar lagi kepada mereka. Belajar tentang kearifan lokal.
No comments:
Post a Comment