25 April 2008

KETIKA SAUDARA KITA CEMAS

Catatan Harian
Makassar, 9 Mei 2006


MENJADI warga kelas dua di sebuah negara betul-betul berisiko. Hal ini paling tidak tergambar pada suasana sore ini, Selasa (9/5), di Somba Opu Makassar. Isu penyerangan terhadap warga keturunan Tionghoa yang akan dilakukan ribuan massa menjadi pemicunya. Padahal Somba Opu merupakan salah satu jantung perekonomian Makassar. Sore itu, semua toko tampak lengang. Puluhan aparat kepolisian siaga memonitor setiap perkembangan.
Ratusan mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) menggelar demonstrasi dan aksi sweeping terhadap warga keturunan. Seorang warga keturunan disandera.
Terbayang kerusuhan massa bernuangsa etnis 1997 silam. Ketika itu, massa dengan beringas membakar toko-toko warga keturunan. Sebelum dibakar, massa terlebih dahulu menjarah toko tersebut.
***
Makassar, 15 September 1997
Benny Karre, seorang pengidap penyakit jiwa di Jalan Kumala, Senin 15 September malam, telengas membacok seorang anak pribumi, kerusuhan berbau rasial pun meledak. Banyak yang menganggap, Benny sekadar pemicu. "Kalau ada senggolan lain yang terjadi antara orang Cina dan orang pribumi, kerusuhan akan tetap terjadi," kata Andi Rudiyanto Asapa, waktu itu aktivis lembaga hukum. Sebab, kata Rudiyanto yang yang kini menjabat Bupati Sinjai, huru-hara rasial di Makassar adalah puncak dari persoalan-persoalan sosial di kota ini. "Inilah hasil pembangunan itu," katanya kala itu.
Maka, benar kata Pangdam VII Wirabuana waktu itu, Mayor Jenderal Agum Gumelar, agar semua kalangan, keturunan Tionghoa, masyarakat pribumi dan juga birokrat, mengambil kaca besar dan bercermin. "Lihat wajah masing-masing," ujar Mayor Jenderal Agum agak cemas.
***
Jakarta, 13-14 Mei 1998.
Peristiwa ini akan dikenang sebagai kejadian yang telah meluluh-lantakkan ribuan ruko, toko, rumah tinggal, pusat pertokoan, bengkel, apartemen, supermarket, kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua, bahkan juga perkosaan terhadap perempuan-perempuan Tionghoa di Jakarta dan Solo merupakan puncak kehancuran martabat dan jati diri etnis Tionghoa di Indonesia.
Selama pemerintahan rejim Orde Baru secara terus-menerus terjadi kerusuhan anarkis anti Tionghoa, namun kerusuhan Mei adalah puncak dari aksi kerusuhan tersebut. Banyak orang sebelumnya berpendapat bahwa kerusuhan anti Tionghoa tidak mungkin terjadi di Jakarta, tetapi ternyata menjelang keruntuhan rejim Orde Baru, puncak kerusuhan tersebut justeru dibiarkan berlangsung aparat keamanan di ibukota.
Dengan kasat mata seluruh dunia dapat menyaksikan bagaimana kerusuhan yang berlangsung selama dua hari penuh, dibiarkan aparat keamanan tanpa melakukan tindakan apapun. Jadi terbukti apa yang selama ini dikuatirkan, etnis Tionghoa memang dijadikan bumper dan tumbal keruntuhan rejim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.
Sungguh menyedihkan sekali melihat etnis Tionghoa demikian tidak berdaya menghadapi segala penindasan terhadap dirinya. Yang bisa dilakukan hanya menyelamatkan diri untuk sementara waktu ke luar negeri, atau ke Bali dan Kalimantan Barat bagi mereka yang masih mempunyai uang, bagi yang tidak mempunyai uang sudah tentu hanya bisa pasrah atas semua kekerasan dan penderitaan yang menimpa dirinya tersebut.(Dikutip dari Benny G.Setiono Kehancuran Dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri Etnis Tionghoa Di Indonesia, tanggal 2 Agustus 2005)
***
Makassar sempat tegang, beruntung kesigapan seluruh komponen untuk tidak mengulangi sejarah kelam pelampiasan emosi kepada komponen yang lain. Seluruh aparat tampak proaktif melakukan proteksi terhadap massa yang berkumpul di titik kejadian, Jl Latimojong.
Sebagai wartawan, satu hal yang membuat saya salut terhadap dunia yang kugeluti ini adalah menyaksikan konsolidasi media massa di Makassar mengantisipasi dampak dari pemberitaan keesokan harinya.
Biasanya media massa sengaja memberitakan hal-hal sensasional untuk menarik oplah. Kali ini, hampir seluruh media sepakat untuk mengurangi berita dengan bahasa-bahasa yang memancing emosi massa.
Khusus Tribun, instruksi langsung dari seluruh redaktur untuk tidak mencantumkan terminologi Tionghoa dalam pemberitaan. Hal ini membuat saya mulai mengerti bagaimana fungsi dan peran media dalam membentuk opini publik.
Ideologi yang dianut oleh para redaktur secara langsung bisa mempengaruhi opini publik. Ideologi dalam pandangan Louis Althusser, salah seorang pemikir postmodernism, yang dapat mengubah dunia ke arah yang lebih baik atau sebaliknya.
***

Peace journalism, saya dengan jelas menangkap term ini dari penjelasan redaktur pelaksana Tribun, Syarief Amir, ketika memaparkan misi jurnalistik Tribun. Sebagai salah satu surat kabar harian di Makassar, Tribun memiliki kontribusi signifikan bagi opini publik. Dengan prinsip peace journalism, koran ini tidak hanya menjual berita tanpa mempertimbangkan efek sosialnya.
Memberitakan sebuah konflik secara vulgar memiliki imbas luas kepada reader. Isu etnis misalnya, pemberitaan berlebihan terhadap konflik berbau SARA ini akan memberi dampak bagi masyarakat pembaca, simpati atau benci.
Dalam kasus terbaru, Latimojong, yang rentang dengan nuansa SARA, harian ini memilih pemberitaan tanpa menonjolkan ciri perbedaan. Perbedaan yang dimaksud seperti kesenjangan ekonomi antara komponen masyarakat yang memang secara kasat mata sangat berbeda.
***

Suasana yang hampir mengarah pada konflik horizontal, alhamdulillah, dapat teratasai dengan kerjasama seluruh komponen masyarakat. Tapi semuanya tidak akan terjadi seandainya media massa membuat pemberitaan yang apa adanya.
"Wartawan memiliki idealisme yang juga pembela rakyat," Demikian prolog yang pertama kali diungkapkan Wapimpred Tribun Dahlan ketika pertama kali menginjakkan kaki di redaksi. Meski idealisme ini, lanjutnya, kadang dikebiri karena alasan iklan (he...he...he...).
Kini saya mulai menemukan secuil dari makna idealisme yang dimiliki wartawan itu. Sebuah kejadian yang diprediksi berakhir dengan konflik bisa diredam lewat "menyengsor" pemberitaan di media secara vulgar. Wartawan tidak semata mengejar berita memenuhi tuntutan tugasnya, tapi juga memiliki tugas mulia: menjaga stabilitas. Seandainya semua wartawan memiliki ideologi seperti ini?

No comments: