25 April 2008

AYO BERINVESTASI DI MAKASSAR???

Makassar, 12 Mei 2006
Catatan Harian

TANPA memperdulikan panas terik matahari saya menuju Kantor Pelayanan Perizinan Kota Makassar di Jl Urip Sumoharjo, Jumat (12/5). Kedatangan saya ke kantor ini untuk bertemu dengan kepala kantor Muh. Kasim sekaligus meminta data tentang jenis-jenis izin yang dikelola kantor pelayanan perizinan yang katanya satu atap ini.
Pertemuan dengan beberapa staf di kantor ini sungguh di luar dugaanku. Bayanganku tentang pegawai yang ramah melayani setiap tamu karena berkaitan dengan dunia usaha di Makassar sangat bertentangan dengan kenyataan yang kutemui. Dengan nada sinis, mereka menyapa. Atribut pers yang melekat tidak mempan sama sekali.
Para staf yang terdiri dari wanita tersebut tidak perduli dengan penjelasanku bahwa saya telah berjanji dengan kepala kantor sebelumnya. Mereka ngotot menyuruhku menunggu sampai kepala kantor datang. Lucunya, jadwal kepulangan kepala kantor initak seorang staf yang tahu. Sungguh pelayanan yang menjengkelkan !
Padahal, kantor pelayanan perizinan merupakan salah satu kantor pelayanan publik yang sering dibangga-banggakan wali kota. Di tangan pegawai inilah terdapat setumpuk harapan untuk memaksimalkan sektor investasi.
***
Sebagai seorang wartawan, saya harus membiasakan dengan perilaku seperti ini. Tapi bagaimana dengan masyarakat yang berniat mengurus perizinan ? Sedangkan perizinan merupakan salah satu syarat utama untuk mendapatkan kemudahan dalam proses administrasi pemerintah nantinya. Sungguh mengherankan!
Belum lagi banyaknya regulasi yang mengatur tentang dunia usaha di kota ini. Melihat kondisi ini, secara pribadi saya mulai khawatir tentang cita-cita pemkot untuk menjadikan Makassar sebagai kawasan perdagangan bebas.
Puluhan regulasi telah terbit. Kalau mau diteliti, hampir semua regulasi yang dikeluarkan ujung-ujungnya adalah retribusi atau pajak. Ini belum termasuk pelayanan di kantor-kantor pemerintah.
Ibarat pungguk rindukan bulan. Adagium ini barangkali cocok menggambarkan kondisi ideal yang dicita-citakan dengan fakta lapangan yang ditemui. Yah, das sollen dan das sein yang sungguh berbeda.
***
Kondisi bisnis di Indonesia ditandai dengan persyaratan dan regulasi yang menumpuk. Retribusi hadir di sana-sini sehingga dianggap menghambat perkembangan perekonomian. Akibatnya, dunia usaha carut-marut. Perusahaan dengan modal besar bisa eksis tapi industri usaha kecil menengah dengan modal pas-pasan merasakan kerasnya persaingan. Bahkan tak jarang mereka harus gulung tikar alias bangkrut.
Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Regulasi hadir untuk memberi kenyamanan dan jaminan usaha sehingga pelaku usaha merasa tenteram menjalankan usahanya. Bukan sebaliknya, menghambat iklim investasi.
Salah satu program yang dipakai oleh negara-negara maju untuk menekan munculnya regulasi yang bisa menghambat dunia usaha dikenal dengan regulatory impact assessment (RIA).
Amerika telah menerapkan sistem ini sejak tahun 1981. Bahkan lebih dekat lagi, Wali Kota Pare-Pare telah melembagakan RIA dalam satu badan tersendiri. Kerja aktifnya sendiri dimulai tahun ini. Menarik menunggu Makassar yang mengaku memiliki banyak potensi yang bisa mendatangkan investor lewat evaluasi terhadap perda-perda yang bersentuhan langsung dengan dunia usaha.

No comments: