Makassar, 13 Mei 2006
Catatan Harian
Dua sopir pete-pete jurusan Makassar Mal-Panakkukang tampak berkelahi di Jl Ratulangi, Makassar, Sabtu (13/5). Perkelahian dipicu ketika mobil dengan nomor DD 1922 N dan DD 1331 H bersenggolan. Merasa dirinya paling benar sopir dengan DD 1922 N mendatangi sopir lainnya dan mengajak berkelahi.
Sebelum berkelahi, kedua sopir tampak adu mulut yang berakhir dengan kontak fisik layaknya sinetron laga. Aksi keduanya sempat memacetkan jalanan cukup lama. Sejumlah pengendara yang melihat insiden tersebut segera melerai. Meski demikian, kedua sopir tampak kesal dan saling mengancam. Sebelum insiden berbuntut panjang karena kedatangan aparat kepolisian kedua sopir buru-buru meninggalkan lokasi.
***
Tidak jarang kita mendengar pendapat bahwa tindak kekerasan terjadi disebabkan oleh kemiskinan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa orang miskin memang gampang mengamuk. Memang, bukan sekali dua kali kita mendengar bahwa di kawasan kumuh yang penuh penduduk miskin terjadi tindak kekerasan. Ada masalah sedikit, langsung terjadi main pukul, tusuk, dan seterusnya.
Namun, rasanya terlalu berlebihan bila sampai menyebut orang miskin cenderung melakukan kekerasan. Kalau kemudian dikatakan bahwa orang yang pendidikannya rendah gampang menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan atau konflik, mungkin masih bisa diterima, sekalipun masih bisa dibantah pula karena dalam kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang miskin dan kurang mengenyam pendidikan formal sekalipun tidak jarang justru terdapat cara-cara yang lebih damai untuk mencari solusi konflik yang terjadi di lingkungan mereka.
***
Kekerasan dapat hadir dalam berbagai bentuk. Namun, yang terpenting dari itu adalah mengapa kekerasan sampai terjadi? Para ahli menyebutkan banyak faktor yang potensial menjadi penyebab terjadinya kekerasan. Dan, di antara berbagai faktor itu, faktor kebijakan ekonomi, dituding sebagai faktor paling determinan munculnya kekerasan.
Lebih khusus lagi faktor yang menjadi penyebab kemiskinan dan ketimpangan baik antar anggota masyarakat ataupun antardaerah. Ketika kebijakan ekonomi tersebut berada dalam konteks pembangunan yang bias ke target-target ekonomi, maka pembangunan itu pun bisa menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Angka kekerasan di daerah gersang jauh lebih tinggi dibanding daerah yang subur, prediksi beberapa ahli. Daerah yang maju lebih kondusif dibanding wilayah penuh konflik, benarkah?
***
"Jangan berkelahi, seperti mahasiswa saja". Ungkapan ini berasal dari mulut seorang tukang becak ketika melerai dua temannya yang sedang berkelahi. Benar atau tidak ungkapan di atas, yang jelas citra mahasiswa di mata masyarakat umum akhir-akhir ini diidentikkan dengan kekerasan. Baik tindak kekerasan ketika sedang menyampaikan aspirasi atau kekerasan dalam bentuk perkelahian massal.
Padahal, mahasiswa adalah sosok yang paling lama mengecap dunia pendidikan. Atau jangan-jangan faktor pendorong kekerasan itu sudah membumi dalam diri kita. Internalisasi nilai-nilai kekerasan lewat media massa baik cetak dan elektronik secara tidak sadar membuat kekerasan menjadi hal lumrah dalam keseharian.
No comments:
Post a Comment