Makassar, 3 Mei 2006
Catatan Harian
MENYAKSIKAN festival nelayan dengan menonjolkan adat Patorani memiliki kesan tersendiri bagiku. Kesan negatif. Ketika tradisi dikomersialkan, maka di mana-mana pasti ada penyensoran. Prosesi adat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Hari ini, Rabu (3/5), di pesisir pantai Boddia Galesong Selatan, Takalar, saya menjadi saksi bisu dominasi negara atas tradisi lokal. Prosesi ritual dikemas dalam bingkai komersialisasi. Ketika "sabda" pemerintah lebih ampuh dibanding "titah" pemimpin adat.
A'dengka Pa'leo, salah satu ritual adat Patorani, harus ditunda gara-gara acara penutupan sudah akan dimulai. Padahal A'dengko Pa'leo ini merupakan salah satu rangkaian dari Accera Turungang yang harus disegerakan begitu prosesi sesaji selesai dilaksanakan.
Apa boleh buat, para pejabat telah berjejer rapi di tribun VIP. Pelan tapi pasti, seorang pegawai berbisik kepada tetua adat, Dg Tompo. Saya tidak paham sama sekali bahasa Makassar, tapi dari isyarat dan aktivitas yang terhenti, saya mengetahui persis bahwa bisikan tadi adalah perintah untuk menghentikan ritual.
Mengunjungi pulau keramat, pulau Sanrebongi, dikenal dengan istilah Pa'dongko Pa'rappo adalah ritual terakhir menjelang turun ke laut atau Allapasa'. Tapi karena Ditjen Tradisi dari Jakarta ingin sekali menginjakkan kaki di pulau, maka ritual Pa'dongko Pa'rappo dipercepat. Sungguh lucu!
***
Ritual dan komersialisasi budaya lokal terus mengganggu pikiranku. Dulu, ketika masih menyandang status mahasiswa, saya pernah berdiskusi dengan tetua-tetua adat di berbagai daerah. Puang Matoa di Kajang, Bissu Saidi di Pangkep, Gella Puang Mengga di Karampuang Sinjai, serta La Unge Setti di Sidrap.
Mereka semua adalah tetuah adat. Mereka dipercaya memimpin komunitasnya masing-masing. Proses pemilihan mereka tidak seperti penjaringan pemimpin di negeri ini. Mereka dipilih berdasarkan "tanda-tanda" yang dikirim Dewata Sewwae ke dalam pribadi mereka. Mereka tegar meski terus dironrong oleh agama-agama resmi di sekelilingnya.
Tetua Adat Tolotang, La Unge Setti, misalnya, untuk menghindari tindakan represif aparat pemerintahan, ia rela menyuruh pengikutnya untu mengaku beragama Hindu. Padahal dalam keyakinan terdalam, mereka beragama Islam. "Kita terpaksa mengaku sebagai Hindu, karena dianggap musyrik oleh orang-orang Islam sendiri," katanya pada suatu waktu.
Atau pemimpin Bissu di Segeri, Bissu Saidi. Dalam suatu diskusi, ia sempat mengeluh perihal jadwal pertunjukan yang ditetapkan Pemda Pangkep. Ia harus keliling Indonesia memamerkan atraksi kekebalan tubuh. Padahal menurutnya, mempertontongkan keahlian kekebalan tubuh dengan tujuan komersil sangat dicela dalam Sureq La Galiga. Apa boleh buat, katanya. Untuk mempertahankan identitas, kita haru pintar menyiasati lingkungan sekitar, ujarnya memberi nasehat.
***
Eksistensi sebuah ritual yang telah dikomersialkan pastilah hilang. Karena tujuannya jelas, ekonomi. Padahal, ritual dalam tradisi masyarakat lokal adalah suatu proses mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ritual-ritual masyarakat lokal merupakan bukti pertemuan tradisi dan agama "ekspansi". Mereka menerima agama "ekspansi" tersebut tapi memadukannya dengan unsur lokal. Maka masyarakat lokal tersebut tetap eksis hingga kini.
No comments:
Post a Comment