Makassar, 1 Mei 2006
Catatan Harian
APA itu pornografi? Apabila pertanyaan ini diajukan kepada saya, barangkali saya akan menggeleng-geleng kepala tanda tidak tahu. Definisi pornografi secara terminologi masih samar menurut saya.
Saya hanya sering mendengar orang mengatakan porno dan imajinasi syur terbayang dalam pikiran. Tapi sejauhmana batasan porno? Jawabannya, setiap orang memiliki pandangan tersendiri. Pandangan yang mungkin dipengaruhi dari_mengikuti Michel Foucoult dan pakar postmodernisme lainnya_ imagine society, ideologi, mitos, sejarah, dan sebagainya.
Perwakilan kelompok yang mengatasnamakan Islam pasti menjadikan kitab sucinya sebagai batasan memaknai definisi pornografi. Tapi bagaimana dengan mereka yang non-Islam? Pertanyaan yang sulit dijawab.
***
Hari ini, beberapa koran harian di Makassar membahas isu tentang tarian striptis yang diperagakan biduan-biduan di Sidrap. Membaca beritanya, saya hanya tersenyum sambil tertawa dalam hati.
Isu lama. Menurut saya, tarian setengan telanjang telah dipertunjukkan di daerah-daerah sejak era elektone. Bukan hanya di Sidrap, sejumlah daerah seperti Soppeng dan Bone menjadi lahan pertunjukan striptis ini.
Elektone yang meramaikan pesta perkawinan dianggap tidak berkualitas jika tidak menyajikan pertunjukan ini. Dengan hanya berbekal Rp 500, para penonton dapat menyentuh bagian tubuh penari. Bagian tubuh yang dianggap terlarang.
Di Soppeng, saya beberapa kali menikmati pertunjukan ini. Karena terlalu sering diadakan seperti itu, orang tua pun sudah mafhum. Menjelang tengah malam, mereka menyuruh semua anak-anak di bawah umur meninggalkan lokasi. Meski kenyataannya ada juga yang masih tertinggal menikmati hiburan gratis tersebut.
Goyangan para penari memang lebih menghebohkan dari gaya "ngebor" Inul Daratista. Tanpa BH bahkan kadang telanjang bulat. Tarian yang menghipnotis penonton. Sebagian besar telah mabuk berat dengan alkohol. Kericuhan jarang terdengar apalagi kejadian imoral setelah tarian tersebut. Penonton menikmatinya sebagai hiburan rakyat.
Ukuran moralitas mencercah pertunjukan ini. Tapi, bagaimana dengan perspektif sosial? Ketika masyarakat jenuh dengan aktivitas sehari-hari yang menuntut
No comments:
Post a Comment