19 April 2008

KETIKA PARA AKTIVIS BERKUMPUL

Makassar, 10 April 2006
Catatan Harian


ANDA bisa membayangkan bagaimana riuh-rendah suasana ketika puluhan aktivis lembaga swadaya masyarakat berkumpul di satu tempat.
Siang itu, di Hotel Kenari, sebuah hotel kelas melati di Jl Yosef Latumahina, Makassar, saya berada di tengah-tengah aktivis tersebut sambil bersantap siang dengan menu utama ikan bolu.
Beragam tema didiskusikan. Mulai dari hal yang sifatnya privat sampai isu-isu mancanegara.
Setelah membahas beberapa isu lokal dan mancanegara, Ina, salah seorang aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Makassar (YLBHM), membelokkan pembicaraan menuju pengalamannya mengawal sebuah kasus pencabulan seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta terkemuka Makassar oleh oknum dosennya sendiri.
Kesulitan demi kesulitan dihadapi. Mulai dari ketakutan para saksi, yang notabene teman satu kampus, terhadap nilai ujian akhir sampai sikap acuh aparatur penegak hukum yang menangani kasus tersebut.
Cerita belum selesai. Mawardi, aktivis Forum Studi Isu-Isu Strategis (Fosis) Makassar, menyela dengan wacana Pilkada Sulsel. Manuver Amin Syam, beberapa bulan terakhir, mengunjungi beberapa daerah menjadi bahan pembicaraannya.
Tapi tak seorangpun merespon statemen Mawardi. Mata para aktivis mengarah padaku, ketika Direktur Pendidikan Rakyat Anti Korupsi (Perak) Asram Jaya bertanya kepadaku tentang kronologis kasus ijazah palsu yang menjadi head line Tribun kemarin.
Dengan pengetahuan ala kadarnya, saya menerangkan rentetan kejadian yang membuat beberapa rektor perguruan tinggi terkemuka Makassar kebakaran jenggot.
Mungkin merasa belum puas dengan jawabanku, Asram kembali bertanya seputar masalah tersebut. Kali ini ditambah dengan beberapa pertanyaan dari aktivis lain, Ardi(Gerak), Saleh (Walhi), dan dari FPMP (saya kurang tahu kepanjangannya).
Untunglah, kemarin saya sempat "melahap" beberapa baris dari head line tersebut, sehingga saya bisa menerangkan sedikit demi sedikit.
Untuk mengalihkan tema pembicaraan, saya meminta asbak kepada pelayan hotel. Cara ini berhasil. Tema pembicaraan lalu berpindah ke Kosgoro yang sedang menyelenggarakan musyarah di hotel yang sama.
Tak lama kemudian, entah siapa yang memulai, tema berpindah ke majalah Playboy yang sedang menuai protes dari beberapa kelompok masyarakat tapi tetap laku keras di pasaran.
Kebetulan Sabtu lalu, salah satu redaktur, Enal, meminta saya berkeliling mencari Playboy di kios-kios pinggir jalan. Sehingga cerita seputar ketidakhadiran majalah tersebut mengalir bagai air dari mulutku.
Permintaan masyarakat akan majalah tersebut dan kekhawatiran para agen majalah untuk menjualnya menjadi salah satu poin penting dariku.
Saya menghabiskan kurang lebih tiga jam bersama para aktivis tersebut. Ketika jarum jam menunjuk angka empat, saya akhirnya berdiri untuk say good bye.
Sebenarnya, saya sangat betah berkumpul dengan mereka. Tapi karena sakit perut yang tak tertahankan, mungkin terlalu banyak makan sambal, saya akhirnya memutuskan pamit duluan.(cr1)

No comments: