19 April 2008

WARTAWAN ITU TUGAS MULIA

Makassar, 19 April 2006
Catatan Harian

KODE etik jurnalistik (KEJ) adalah landasan bagi para insan pers menekuni aktivitasnya. Selama ini, saya sering mendengar istilah itu tapi tidak pernah mendalami maknanya. Ketika masih kuliah, KEJ pernah diajarkan. Tapi, saya tidak pernah mengikuti mata kuliah tersebut karena aktivitas kampus yang sangat padat.
Rasa menyesal sempat menyeruak ketika menghadiri sosialisasi KEJ di Hotel Makassar Golden, Makassar, Rabu (19/4). Beragam argumentasi dan penjelasan seputar KEJ membuatku terdiam sejenak. Ternyata wartawan dalam menjalani profesinya diatur oleh sebuah regulasi yang sangat ketat.
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik (Pasal 2). Terminologi profesional dalam pasal tersebut sangat asing bagiku. Maklum, sebelum menekuni dunia jurnalistik, saya tidak memiliki latar belakang pers sama sekali.
Profesionalisme seorang wartawan ternyata tidak diukur seberapa banyak berita didapatkan setiap hari. Melainkan mematuhi beberapa ketentuan berkaitan dengan etika dan tata cara pemberitaan yang senantiasa memperhatikan perasaan nara sumber.
Jangan memberi suap kepada nara sumber, meminta imbalan sebagai kompensasi dimuatnya berita adalah hal paling tercela bagi wartawan. "Wartawan yang melanggar etika dengan memberi maupun menerima suap harus langsung dipecat tanpa peringatan. Karena itu adalah aib dalam dunia wartawan," demikian kira-kira penegasan mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, seputar norma dan etika seorang wartawan. Apabila KEJ ini telah mendarah-daging dalam jiwa seorang wartawan, maka berita yang ditawarkan akan berkualitas.
Mendengan penjelasan ini, tiba-tiba terbayang pengalamanku beberapa hari lalu ketika bertemu dengan beberapa wartawan yang sedang merancang skenario "minta imbalan" kepada nara sumber di sebuah hotel ternama Makassar.
Dengan modus operandi meminta imbalan atas pemuatan berita, mereka mencoba melobi panitia pelaksana yang berasal dari Jakarta dengan cara yang sangat halus menurutku. Takut tergoda dengan "amplop" seperti yang selalu ditekankan redakturku, Misbahuddin, saya memutuskan untuk meninggalkan mereka beberapa saat.
Ketika bertemu di ruang parkir, teman-teman wartawan tersebut segera menanyakan apakah saya telah dapat "jatah" atau belum. Ketika jawabanku belum, ia menyuruhku menghubungi panitia tadi dan meminta "bagian".
"Menjadi wartawan adalah tugas yang sangat mulia jika dilakukan dengan sepenuh hati," kata wakil pimpinan redaksi II tempat aku bekerja sekarang, Dahlan, beberapa hari lalu ketika saya bersiap menekuni dunia ini.
"Namun, pekerjaan ini akan menjadi hina jika kamu menciderainya dengan menerima pemberian nara sumber," lanjutnya. Pesan singkat tersebut masih jelas terngiang sampai sekarang dan mudah-mudahan tetap terpatri kuat dalam hati.
Tugas mulia wartawan mesti dijalankan dengan baik dan tetap mengacu pada kode etik yang telah dirumuskan dan disepakati tersebut. Setelah membandingkan KEJ dan beberapa pesan moral yang telah kudapat selama di Tribun, saya menyimpulkan bahwa wartawan adalah pekerjaan mulia jika ditekuni dengan ikhlas serta ditunjang visi cerdas. (cr1)

No comments: