Makassar, 18 April 2006
Catatan Harian
KURANG tidur. Sudah dua hari energi terkuras menjalani rutinitas harianku di sebuah surat kabar harian di Kota Makassar. Hal yang sangat berbeda ketika saya dulu masih pengangguran. Bisa tidur sepuasnya tanpa memperdulikan waktu yang berlalu begitu saja.
Demi masa. Sebuah judul sinetron yang ditayangkan salah satu tv swasta nasional yang diadopsi dari seuntaian ayat dalam Alquran. Tiba-tiba saya teringat dengan kalimat pendek tersebut. Sebuah kalimat yang sering saya ungkap di atas mimbar ketika masih tinggal di pesantren.
Menggunakan waktu secara terencana akan menjadikan hidup seseorang lebih teratur. Apalagi jika seluruh waktunya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dan membantu sesama. Manajemen waktu membutuhkan kebiasaan tersendiri.
Waktu di pesantren, para santri harus mengikuti jadwal yang telah ditentukan oleh ustadz pembina. Pukul 18.00, semua santri harus stand by di masjid menunggu shalat magrib berjamaah dilanjutkan dengan pengajian membahas kitab kuning.
Pukul 04.30 dini hari, kita semua diwajibkan shalat berjamaah dimasjid sekaligus menunggu wejangan-wejangan dari gurutta sampai sinar matahari muncul di ufuk timur.
Hal ini berlangsung kurang lebih enam tahun. Dampaknya bagi kehidupanku sungguh luar biasa. Saya merasa berdosa jika melalaikan salah satu agenda yang telah ditetapkan. Meski kadang juga saya berpikir bahwa apa yang selama ini kulakukan apakah betul-betul berasal dari lubuk hati paling dalam atau hanya takut menerima hukuman.
Yang jelas saya termasuk salah satu santri yang dikenal disiplin dalam persoalan ibadah dan rutinitas madrasah.
Tapi, beberapa tahun kemudian, predikat mahasiswa yang kusandang membuat saya mulai lalai dengan jadwal yant telah kujalani selama bertahun-tahun tersebut. Bahkan pergumulanku dengan beberapa pemikir filsafat radikal baik dari aliran marxis sampai post modernism mulai merubah filosofi hidupku.
Lama-kelamaan ajaran Nietzche, Marx, Foucoult, Althusser, Derrida, dan aliran kiri radikal lainnya membuatku mulai cuek dengan wilayah privatku. Sugesti sosial yang ditawarkan membuatku larut dalam teori-teori sosial mereka.
Belum lagi pemikiran-pemikiran Islam radikal membuatku betul-betul mendekonstruksi tatanan pemikiran yang mapan selama bertahun-tahun di kepalaku mulai luntur.
Arkoun, Aljabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Kahlil Abdul Karim, Asgar Ali Enginer menjejali pikiranku dengan revitalisasi pemahaman keagamaannya membuatku enjoy terhadap rasa keberagamaanku yang mulai berbeda dengan mainstream pemikiran orang lain.
Bangun jam delapan adalah hal lumrah, salat jumat yang tidak wajib, puasa sebagai sarana menyiksa diri, membuatku betul-betul menemukan jati diriku setelah bertahun-tahun terjebak dalam onani spiritual. Merasa diri sebagai yang paling dekat dengan Tuhan.
Tapi, semuanya kini berbalik 180 derajat. Profesi yang kugeluti sekarang membutuhkan perhitungan waktu yang tepat. Waktu sangat berharga untuk seorang wartawan. Dengan susah payah, saya mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Meski selama dua hari ini saya betul-betul tersiksa dengan rasa kantuk. Tapi saya berjanji, demi waktu, untuk terus menjalani kehidupan yang dipinjamkan Sang Khalik ini. (cr1)
No comments:
Post a Comment