Makassar, 21 April 2006
Catatan Harian
KARTINI baru telah lahir. Demikian topik sebuah surat kabar harian Makassar terkait dengan peringatan hari Kartini, 21 April 2006. Aneka macam kegiatan diselenggarakan dalam rangka peringatan hari tersebut. Mulai dari lomba masak antar RT sampai seminar nasional.
Raden Ajen Kartini betul-betul memberi inspirasi buat para perempuan Indonesia. Dengan semangat tak kenal menyerah terhadap tradisi pingit yang diagung-agungkan masyarakat Jawa pada saat itu, Kartini bertekad untuk melawan semuanya. Sebuah tradisi yang dianggap memarjinalkan kaum perempuan ke sudut sempit ruang domestik yang pengap dan bergumul asap.
Meski tidak mampu melawan suratan takdir ketika akhirnya harus rela menjadi "selir" seorang bangsawan, namun kegelisahan-kegelisahan Kartini yang tertuang dalam berbagai surat kepada sahabat-sahabatnya mengungkapkan spiritnya melawan kemapanan masa yang dianggap menyudutkan nasib kaum perempuan.
Kumpulan surat-suratnya dikumpulkan seorang meneer JH Abendanon dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Maka lahirlah Habis Gelap Terbitlah Terang. Sebuah karya yang dianggap representasi semangat resistensi Kartini terhadap ketidak-adilan zamannya.
Meski Kartini tidak mampu mendobrak tradisi yang telah berlangsung turun-temurung, namun spiritnya berhasil menginspirasi para perempuan sesudahnya. Para perempuan dengan semangat tak kenal menyerah berusaha melanjutkan perjuangan Kartini.
Asumsi yang terlanjur mapan bahwa perempuan inferior ketika berhadapan dengan laki-laki coba diurai dan dilabrak. Adagium perempuan hanya pelengkap kaum laki-laki digugat. Superioritas laki-laki dengan budaya patriarki dipertanyakan. Kartini-kartini se-Indonesia menggugat.
Siang itu, di sebuah ruangan yang dijejali mayoritas perempuan. Semangat dan cita-cita Kartini sangat terasa mendominasi penjuru ruangan. Tepuk tangan menggema ketika khatib di mimbar memaparkan kelebihan perempuan atas lelaki.
Perempuan di hari Kartini betul-betul dipenuhi euforia kegembiraan. Momen untuk aktualisasi diri dan mendapat pengakuan sebagai pribadi yang mandiri dan independen menemukan momentumnya di hari Kartini.
Kartini betul-betul menjadi simbol perempuan Indonesia. Meski kartini modern tidak lagi memakai kebaya dan konde, namun semangat untuk mendapatkan pengakuan diri tetap menjadi kekuatan utama.
Tapi apakah pengakuan lantas membuat perempuan telah mencapai tujuan yang diidamkan Kartini. Apakah keberhasilan perjuangan perempuan mesti ditandai dengan maraknya perempuan yang bergelut di ruang publik? Jadi pegawai, pengusaha, polisi, olahragawan. Ataukah keberhasilan itu ditandai ketika perempuan tidak lagi harus mengurus rumah tangga dan memiliki kebebasan tanpa merasa dikekang dengan kewajiban mengurus anak? Pertanyaan yang sampai saat ini masih terus dicari jawabannya dan mungkin hanya perempuan yang tahu persis jawabannya.
Tapi sayang, hari Kartini hanya diperingati satu hari dalam setahun. Setelah itu, mereka kembali berkutat dengan rutinitas hariannya. Mereka seakan-akan tidak berdaya menghadapi dominasi budaya patriarki yang sedemikian kuat mengakar. (cr1)
No comments:
Post a Comment