Makassar, 6 Mei 2006
Catatan Harian
KABAR gembira datang dari Sulawesi Selatan. Dalam rapat Paripurna yang dipimpin ketua DPRD Sulawesi Selatan, Agus Arifin Nu'mang, 18 April lalu, seluruh fraksi menyetujui Raperda pendidikan Alquran menjadi peraturan daerah (Perda).
Penetapan Perda Pendidikan Al Quran dipandang sebagai suatu kesuksesan tersendiri? Pandangan ini mungkin terlalu subjektif. Pasalnya sebagian kelompok justeru menilai keberhasilan ini sebagai suatu kegagalan bagi pemberdayaan masyarakat sipil.
Saya pribadi termasuk dalam kelompok yang tidak sepakat ketika perda ini ditetapkan. Menurut saya, pengesahan ranperda ini menjadi salah satu indikasi menguatnya institusi negara mengatur kehidupan pribadi warga negara. Perda akan menjadi salah satu pintu masuk kekuasaan mengatur lebih jauh kehidupan keagamaan warga negara. Padahal, kehidupan keagamaan merupakan wilayah privat.
Pendidikan Al Quran adalah kewajiban individu setiap keluarga muslim untuk mengajar anggota keluarganya. Diatur lewat perda atau tidak, rumah tangga muslim tetap akan membimbing anak-anaknya.
Alasan pemerintah supaya Sulawesi Selatan dapat memberantas buta aksara Al Quran dengan cepat memang masuk akal. Tapi apa mesti lewat perda yang sifatnya mengikat secara hukum? Atau hal ini menjadi indikasi bahwa pemerintah sekarang sedang kurang kerjaan sehingga hal-hal sekecil itu mesti diurus.
Apakah pelayanan publik yang menjadi tugas utama telah dilaksanakan secara optimal? Pembangunan infrastruktur untuk menunjang proses pembangunan telah terlaksana dengan tuntas? Pembenahan internal aparat pemerintahan untuk menjamin pelayanan publik sudah selesai?
Kalau jawabannya adalah sudah, maka tugas pemerintah bukan dialihkan mengurus hal-hal kecil dan privat seperti penetapan perda pendidikan Al Quran. Tugas pemerintah tinggal memperbaiki pelayanan dan menjaga konsistensi servis kepada masyarakat.
***
Sama saja ketika Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi dibahas. Penolakan atas RUU APP merupakan lompatan luar biasa bagi para aktivis yang tergabung dalam kelompok kontra ini. Negara dianggap terlalu over mengatur tubuh perempuan.
Kelompok yang kontra RUU merasa negara telah melampaui kewenangan institusionalnya sehingga hendak mendisiplinkan privacy warga negaranya.
Meski demikian, perjuangan kelompok yang pro RUU APP juga saya hargai. Kemenangan kelompok pro dan kontra diukur atas hasil akhir RUU APP ini. Apakah disahkan atau dimentahkan.
Yang jelas, kelompok manapun yang memenangkan aspirasi mengenai rancangan ini tetap menempuh jalur-jalur konstitusional tanpa saling menciderai satu sama lain. Tindakan anarkis kelompok pro RUU terhadap yang kontra patut disesali.
Sebagai warga negara, meski tidak setuju, tetap harus melaksanakan setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh para birokrat kita. Yang pasti perjuangan menuju kehidupan bernegara yang demokratis tidak akan terhenti dengan satu kegagalan.
No comments:
Post a Comment