Makassar, 7 Mei 2006
Catatan Harian
SETIAP saya melewati TPS di Jl Manuruki II, saya selalu menutup hidung. Bau sampah menyengat, lalat yang jumlahnya tak terhitung beterbangan sepuasnya, dan tikus-tikus got leluasa bermain. Fenomena ini tampaknya sudah biasa bagi masyarakat sekitar. Bahkan anak-anak terlihat riang bermain di sekitar area TPS tersebut.
Padahal, Manuruki merupakan salah satu lokasi yang padat karena banyaknya mahasiswa menggunakan pelayanan jasa kos-kosan. Mahasiswa dari UIN, Unismuh, dan UNM tercatat paling banyak menyewa tempat di wilayah ini. Selain mahasiswa, juga terdapat banyak pegawai swasta yang memilih Manuruki sebagai tempat berteduh mereka.
Manuruki yang dihuni banyak kaum muda intelektual ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi lingkungan. Manuruki yang kotor dan tampak kumuh karena sampah berserakan di jalan.
***
Persoalan sampah di Indonesia, terutama di kota-kota besar, menjadi masalah pelik dan memberikan gangguan dan dampak lingkungan yang merugikan. Keterbatasan kemampuan pengumpulan dan pengangkutan sampah, ketidaktersediaan lahan untuk tempah pembuangan akhir (TPA), tidak adanya teknologi alternatif pengelolahan sampah yang murah, bahkan hingga masalah yang paling mendasar ; yaitu minimnya kesadaran masyarakat akan sampah, merupakan penyebab ketidakberesan penataan sistem persampahan di berbagai kota besar di Indonesia saat ini.
Makassar sebagai ibukota provinsi tidak terlepas dari masalah sampah ini. Untuk meminimalisir dan menciptakan lingkungan bersih dan sehat, Wali Kota Makassar mencanangkan program Gerakan Makassar Bersih. Program dicanangkan satu minggu setelah dilantik menjadi nahkoda Makassar dua tahun silam.
Warga Makassar menghasilkan volume sampah 3.748 meter kubik setiap harinya. Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan (PLHK) yang diberi amanat mengurus sampah mulai kewalahan. Dengan peralatan yang terbatas, PLHK dituntut proaktif mewujudkan Makassar bersih.
Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin berkali-kali menghimbau warga untuk menyisihkan 15 menit waktunya mengurus sampah setiap pagi. Jika ini terealisasi, menurut Ilham, Makassar pasti menjadi kota hijau nan asri dalam waktu singkat.
Sekarang, semuanya terpulang kepada warga Makassar. Mau kota yang bersih atau mendapat gelar kota kumuh. Kumuh karena sampah.
***
Berbeda dengan mal-mal besar, kondisi yang nyaman dan sejuk tanpa sampah berserakan membuat para konsumen tenteram berbelanja. Di mana-mana cleaning service tampak siap siaga membersihkan kotoran yang mengganggu pemandangan.
Atau jangan-jangan untuk mengurus sampah dibutuhkan anggaran yang banyak. Selama ini, sampah dianggap persoalan biasa-biasa saja. Akibatnya anggaran yang disediakan pun terbatas. Coba perhatikan armada pengangkut sampah kota Makassar. Rata-rata umurnya sudah tua dan tak terurus. Lagi-lagi kembali ke persoalan duit.
No comments:
Post a Comment