Makassar, 23 April 2006
Catatan Harian
TENTARA juga manusia. Demikian kesanku setelah berdiskusi dengan beberapa aparat TNI. Mulai cerita tentang pengalaman di hutan dengan peralatan makanan seadanya, gaji pokok yang kecil, politik nasional, hingga tema tentang gadis-gadis sexy di mal.
Siang itu, Minggu (23/4), puluhan aparat TNI berkumpul di halaman salah satu warga di Jl Beruang, Makassar, sambil menikmati ragam hidangan yang disajikan warga seusai kerja bakti.
"Dulu, militer pernah menikmati era keemasan di zaman Suharto. Meski para prajurit tetap saja seperti apa adanya," kata Yosi, salah satu prajurit dari Batalyon Zipur 8.
Yosi benar ketika mengatakan militer pernah berjaya. Ia juga benar ketika menganggap kejayaan itu tidak menyeluruh sampai ke prajurit. Kejayaan tersebut hanya dinikmati segelintir elit militer.
Segelintir jenderal menguasai beberapa badan usaha milik negara (BUMN) dan beberapa yayasan tentara. Meski anggaran negara untuk militer terbatas, tapi kemampuan dana yayasan yang dimiliki mampu menutupi anggaran tersebut. Sehingga tidak mengherankan apabila ada pejabat militer menjadi konglomerat.
Namun, kemapanan elit-elit militer tersebut tidak berlangsung lama. Seiring dengan gelombang reformasi melanda Indonesia tahun 1998, kemapanan elit-elit militer dengan bisnis atau lazim dikenal dengan Dwi Fungsi ABRI digugat.
Back to Barak. Saya masih ingat dengan tuntutan mahasiswa kala itu. Tuntutan agar militer tidak mengurusi bisnis dan politik. Fungsi tentara hanya menjaga pertahanan dan keamanan bangsa. Militer harus netral dan tidak diperbolehkan berafiliasi kepada salah satu organisasi politik.
Membayangkan militer berpolitik pastilah mengerikan. Dengan kekuatan senjata yang dimiliki, kaum sipil pasti tidak bisa berbuat apa-apa. Negara otoriter dan totalitarian pasti hasilnya, menakutkan.
Struktur pemerintahan didominasi militer. Sebuah lagu yang sering dikumandangkan mahasiswa kala menuntut tentara kembali ke barak. Gubernurnya militer, bupatinya militer, camat pak lurah semuanya militer.
Perlahan tapi pasti, paham militerisme berupa keseragaman pola berpikir disusupkan ke kepala tiap rakyat. Baris-berbaris dan upacara bendera adalah sekelumit contoh yang patut disebutkan.
Bahkan perguruan tinggi, tempat mahasiswa menuntut ilmu juga disusupi. Ospek ala militer sampai pembentukan resimen mahasiswa adalah contoh paling nyata penetrasi militer ke perguruan tinggi. Hegemoni militer menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Hal yang sangat kontras dengan kondisi kekinian Indonesia. Dengan anggaran serba terbatas, gaji minim para prajurit, persediaan perumahan yang tidak mencukupi, hingga peralatan militer yang ketinggalan jaman, militer dituntut tegas mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Kedaulatan yang beberapa tahun terakhir diobok-obok negara tetangga.
Bahkan Panglima Kodam VII Wirabuana sendiri pernah mengaku tidak sanggup andaikan harus bertempur dengan Malaysia, apalagi Australia. Kekuatan militer Indonesia menurutnya tidak mampu menandingi kekuatan Australia. Sungguh memperihatinkan !(cr1)
No comments:
Post a Comment