19 April 2008

MELAWAN RASA KANTUK

Makassar, 24 April 2006
Catatan Harian

MENGUBAH kebiasaan merupakan hal yang sulit. Setidaknya hal ini terjadi padaku. Tidur siang yang menjadi kebiasaanku selama delapan bulan terakhir harus diubah seiring dengan profesi yang kujalani sekarang, wartawan. Saya menjalani profesi ini belum cukup satu bulan. Sejumlah problem mendasar masih kerap muncul, salah satunya adalah melawan rasa kantuk.
Sebelum menjalani pekerjaan ini, begadang sampai dini hari adalah hal biasa. Tapi mesti dibarengi dengan tidur sepuasnya pada siang hari. Maklum, pengangguran. Hal ini berlangsung beberapa bulan sehingga menjadi kebiasaan yang sulit dihindari.
Kini, profesi yang kuembang menuntut energi banyak. Begadang tanpa tidur pagi. Satu hal dalam beberapa hari ini menggangguku. Dengan perasaan masih mengantuk saya harus segera berkemas. Mandi pukul 6.30 menjadi keharusan. Padahal dulu, jarang mandi pagi karena bangun ketika matahari hampir tenggelam.
Melawan rasa kantuk adalah perjuangan yang menurutku sangat sulit. Akibatnya beberapa informasi penting luput dari perhatian. Padahal seorang wartawan harus mampu memaksimalkan informasi berharga walaupun hanya satu sampai dua kalimat dari mulut nara sumber.
Siang itu, seminar nasional di salah satu hotel ternama Makassar, Hotel Marannu. Seorang nara sumber dari Jakarta, Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara RI, bisa menjadi sasaran pemberitaan. Tapi, apes sekali nasibku siang itu. Untuk menghilangkan rasa kantuk yang tak tertahankan saya memutuskan untuk coffee break.
Karena keasyikan menikmati secangkir kopi susu, saya tidak sempat memperhatikan kepergian nara sumber dari Jakarta. Padahal sejumlah pertanyaan krusial telah kupersiapkan. Ia meninggalkan ruangan tanpa terlihat olehku. Rencana mengorek informasi lebih jauh seputar Rancangan Undang-Undang Administrasi Negara hilang. Artinya, kesempatan mendapatkan berita yang qualified juga hilang.
Kehilangan nara sumber utama, menurut salah seorang wartawan senior, Muhammad Irham, adalah hal yang sangat disesalkan dalam dunia jurnalistik. "Seorang wartawan handal harus mampu memanfaatkan setiap momen dari nara sumber," ujarnya berkali-kali.
Tapi, mau berkata apa lagi. Kalau hal tersebut di luar batas kemampuanku. Dulu, menahan kantuk adalah pantanganku. Setiap kantuk datang, harus tidur. Tak perduli pagi, siang, atau malam.
Kini, semuanya berubah. Menjadi wartawan harus pintar memaksimalkan waktu istirahat. Suatu hal yang juga berat menurutku. Bayangkan, setiap pulang ke rumah jam 12.00, saya masih harus melayani teman-teman bercerita atau sekedar nonton film. Saya berusaha tetap menjaga pergaulan dengan teman-teman seperti dulu.
Menonton TV sampai capek, main domino, atau play station merupakan kebiasaan teman-teman di rumah. Sebagai orang paling senior, saya harus mengayomi mereka. Meski harus mengorbankan diri sendiri karena harus menanggung rasa kantuk setiap kali bertugas pagi hari.
Sekarang, saya hanya berharap rasa kantuk yang melanda setiap hari hilang. Semoga begadang tanpa porsi tidur memadai menjadi kebiasaan. Sehingga tidak ada lagi yang akan mengganggu aktivitasku memburu berita. Kehilangan nara sumber tidak terulang lagi, semoga.(cr1)

No comments: