19 April 2008

Tanpa Judul

Makassar, 25 April 2006
Catatan Harian


OTONOMI daerah, dalam batas batas tertentu, bisa berubah menjadi lahan korupsi para pejabat daerah. Sebelumnya, korupsi hanya berlangsung di pusat penyelenggara pemerintahan, Jakarta. Namun seiring pemberlakuan otonomi dan desentralisasi kekuasaan, korupsi pun di "daerah" kan. UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah memberikan kekuasaan penuh kepada eksekutif bersama legislatif di daerah memiliki otonomi penuh untuk membuat kebijakan kebijakan lokal. Bahkan anggota dewan memiliki otonomi penuh dan punya peluang besar dalam proses legislasi.
Namun, euforia otonomi daerah ternyata memiliki dampak negatif. Salah satu yang sering menjadi bahan pembicaran warung kopi adalah "kejahatan institusional". Pihak eksekutif maupun legislatif seringkali membuat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan publik. Bahkan cerita tentang persen-persenan bagi anggota dewan ketika berhasil meloloskan angka-angka tertentu dalam penyusunan anggaran bukan rahasia lagi.
Lebih tragis lagi, kejahatan institusional itu dipraktekkan secara berjamaah antara legislatif dan eksekutif. Sehingga tidak mengherankan setiap APBD yang ditetapkan hanya menguntungkan elit dan sebagian kecil saja bersentuhan dengan kepentingan publik.
Hal ini sempat berkecamuk dalam pikiranku ketika menghadiri sebuah acara yang mengupas tentang APBD Kota Makassar 2006. Acara yang sama sekali tidak dihadiri satupun anggota DPRD. Padahal di tangan merekalah angka-angka nominal dalam budgeting DPRD ditentukan.
Power tends to corrupt. Bahwa kekuasaan cenderung melakukan manipulasi untuk melanggengkannya bukan rahasia lagi. Orientasi untuk pemberdayaan masyarakat yang dijanjikan sebelum menjadi penguasa sebatas janji belaka. Semua orang tahu hal tersebut. Tapi mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka harus terlibat memilih dengan harapan ada perubahan. Meskipun hanya sedikit.
Terminologi "korupsi legal" sering disematkan pada legislatif dan eksekutif ketika menyusun anggaran. Meski belakangan mereka harus menanggung akibatnya. Itu pun kalau ketahuan aparat berwenang. Beberapa kasus korupsi jamaah menjadi contoh, meski banyak juga kasus yang tidak bisa diungkap. Celakalah bagi mereka yang ketahuan karena mendapat kutukan dari masyarakat. Sebaliknya, bergembiralah bagi mereka yang tidak terdeteksi.
Dalam pos anggaran, legislatif dan eksekutif tidak malu-malu meminta "uang pakaian", "uang jajan", "uang rekreasi", ataupun "konsumsi" yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan publik.
Ironis sekali. Mereka yang berbicara atas nama rakyat justeru menyalahgunakan kepercayaan yang diamanahkan rakyat. Hanya hukuman moral atau azab Tuhan di akhirat semoga menjadi ganjarannya.
Mestikah rakyat yang setiap hari berjuang demi sesuap nasi memperoleh ganjaran tidak setimpal. Sementara wakil-wakil mereka di DPRD atau pemerintahan bergelimang kemewahan. Kisi-kisi kehidupan yang betul-betul berbanding 180 derajat.
Memikirkan semua itu, minatku untuk mempelajari deretan angka-angka dalam dokumen APBD Makassar 2006 tiba-tiba hilang. Angka yang menurut perancangnya akan mensejahterahkan rakyat. IMPOSSIBLE. (cr1)

No comments: