Makassar, 14 April 2006
Catatan Harian
SUSAHNYA berbicara dengan wartawan senior. Setiap tiga sampai lima menit, ponselnya pasti berbunyi.
Selasa malam, (11/4), hari kedua saya berbincang santai dengannya sambil sesekali meneguk teh panas di atas meja. Beragam topik telah dibahas tapi tak satupun tuntas.
Perbincangan mengenai kondisi di pesantren, kebetulan kami berdua berasal dari pesantren dengan latar belakang kultural sama, tradisional, berlangsung ketika ponsel Communikator 9300-nya berbunyi.
Kali ini yang menelepon mungkin salah satu anggota DPRD Sulsel. Hal ini tercermin dari beberapa kali ia menyebutkan nama Agus Arifin Nu'mang, Ketua DPRD Sulsel. Kali ini durasi percakapannya agak lama, hampir 15 menit.
Setelah menjawab telepon, ia kembali mengajakku sharing. Isu pilkada mengenai rivalitas Amin Syam dan Syahrul Yasin Limpo jadi pembahasan. Tapi, lagi-lagi ponselnya berbunyi. Ini adalah kali kelima ponselnya berdering.
"Betul-betul sibuk," pikirku. Tak lama kemudian saya memutuskan meninggalkannya sendirian menjawab telepon. Bukan kesal, saya hanya ingin membuatnya bebas berbicara tanpa perlu merasa khawatir mengenai kehadiranku di sampingnya.
Demikian kira-kira pengalamanku selama dua hari berbincang-bincang dengan salah seorang wartawan di Tribun, Ahmad Sudirman Kambie, di sela-sela kesibukannya menulis berita.
Untuk menjadi wartawan, seseorang harus memiliki jaringan luas. Dengan bekal tersebut, ia mempunyai banyak akses terhadap peristiwa-peristiwa menarik bernilai berita.
Pekerjaan wartawan adalah mengangkat topik hangat untuk disimak khalayak. Kemampuan menganalisa suatu kejadian lalu dikemas dalam bahasa menarik dan sederhana.
Satu hal yang selalu ditekankan oleh redakturku, Misbahuddin, setiap selesai menulis berita.
"Kamu harus mampu mengungkapkan berita dalam bahasa sederhana dan mudah dicerna khalayak, bukan bahasa makalah," ungkapnya berulang kali.
Hal tersebut masih menjadi kendala utama bagiku. Saya masih kaku dalam membahasakan sebuah peristiwa dalam bahasa sederhana.
"Mungkin saya butuh beberapa hari lagi untuk beradaptasi dengan gaya bahasa jurnalistik," pikirku.
Tapi, sampai kapan. Belum lagi persoalan relasi yang masih terbatas, sehingga akses informasi minim, dan tentunya berita yang dihasilkan tidak menarik bagi khalayak ramai.
Mencari relasi menjadi rencanaku selama beberapa minggu ke depan. Tapi, bagaimana caranya? Sampai saat ini saya masih buta mengenai hal tersebut. Padahal relasi luas menjadi prasyarat utama menjadi wartawan handal.
Saya tidak bercita-cita menjadi wartawan sibuk seperti yang terjadi pada wartawan senior tadi. Saya hanya ingin memiliki beberapa berita dalam satu hari. Sehingga redakturku mempunyai beberapa alternatif pilihan untuk dimuat.
Selama ini, saya hanya mengumpulkan paling banyak tiga berita. Itu pun di hari pertama ketika ulang tahun kedua puluh Senam Tera Indonesia di Karebosi.Saat itu, ada beberapa peristiwa berlangsung di satu tempat, sehingga saya memiliki beberapa referensi berita.
Jalani hidup apa adanya sambil mempersiapkan strategi menghadapi masa depan. Kalimat ini terlintas dalam benakku ketika sedang menulis catatan harian ini.(cr1)
No comments:
Post a Comment