19 April 2008

REPORTER PANIK

Makassar, 11 April 2006
Catatan Harian


KANTOR Gabungan Dinas-Dinas Kota Makassar di Jl Urip Sumoharjo tampak ramai hari ini, Selasa (11/4).
Rencana semula hanya berjalan-jalan melihat situasi sekaligus melacak kontak person para kepala dinas. Tapi, setiba di sana terbersit niat untuk coba-coba meliput. Bak gayung bersambut, hari itu, Dinas Pengelolahan Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota Makassar kedatangan tamu dari Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Kedatangannya dalam rangka mencari lokasi proyek percontohan pengelolaan sampah ideal. Tiga kelurahan menjadi acuan untuk lokasi dimaksud, Tambua (kecamatan Tallo), Bara-Barayya (kecamatan Makassar), dan Maccini (Tamalate).
Mungkin karena naluri jurnalistik yang masih minim, saya hanya terpaku menyaksikan mereka naik mobil. Padahal Kepala Bidang Pengelolaan Kebersihan, M Ali Achmad, mengajakku.
Penyesalan pun terlintas di benakku setelah mobil rombongan meninggalkan halaman kantor. Saya berniat mengikuti mereka, tapi cuaca matahari yang menyengat membuatku mengurungkan niat.
Mencari peristiwa yang bernilai berita. Hal tersebut masih menjadi salah satu kendala utama melakoni profesi sebagai seorang reporter. Padahal kemampuan mengemas suatu peristiwa agar memiliki nilai berita berkualitas menjadi salah satu skill yang harus dimiliki.
Mungkin membutuhkan beberapa bulan untuk mengasah insting tersebut. Tapi, saya tak patah arang. Belajar, mengamati, dan intropeksi diri terus saya lakukan setiap pulang ke rumah.
Untungnya saya memiliki seorang teman, Sukardi Saleh, Mantan pimpinan redaksi Innovasi Universitas Negeri Makassar (UNM). Meski saya kadang minder terhadapnya. Karena beberapa minggu lalu, Uka, begitu aku menyapanya, mengajakku mendaftar di Tribun.
Tapi, begitu hasil seleksi diumumkan, justeru hanya aku yang lulus. Sementara Uka, mendapat panggilan tes tertulispun tidak ada.
Takdir dan faktor lucky. Yah, di dunia ini kadang kita membutuhkan luck untuk bisa berhasil. Dengan hanya mengandalkan kemampuan berbahasa yang pas-pasan, saya akhirnya memperoleh pekerjaan ini, reporter.
Ini adalah hari kesepuluh saya menekuni profesi ini. Sejauh ini semuanya berjalan lancar. Meskipun demikian, saya tetap menyadari begitu banyak kekurangan selama dalam kurung waktu tersebut. Maklumlah, sebagai pemula dengan pengalaman jurnalistik yang minus sama sekali, saya seakan bertaruh dengan job ini.
Hari ini misalnya, saya hampir putus asa ketika jarum jam menunjukkan angka 12, saya baru memperoleh satu berita. Padahal saya mentargetkan minimal dua berita dalam satu hari.
How confused I was!.Saya panik, seluruh kreativitasku tiba-tiba mandeg sementara mentari bersinar sangat terik.
Ketika mendapat instruksi dari salah seorang reporter senior, Muhammad Irham, meliput berita di Rumah Sakit Akademis, Jl Bulu Saraung, Saya pun bergegas ke sana.
Cilakanya, saya hanya mendapat pernyataan pendek dari putra ketiga Jacob Nuwawea, Andi Gani. Padahal, 60 menit telah berlalu. Saya pun bertambah panik.
Panik. Hari ini saya betul-betul dilanda kepanikan. Terlebih ketika redakturku, Misbahuddin Hadjdjini, menelpon untuk segera ke kantor. Sementara berita yang kudapatkan tidak kunjung bertambah.
"Matilah aku," pikirku. (cr1)

No comments: